Senin, 15 Juli 2024

PANTANGAN MENGERIKAN DI HUTAN JAMBI

 PANTANGAN MENGERIKAN DI HUTAN JAMBI


Kali ini kita akan membahas tentang Suku Anak Dalam yang ada di Provinsi Jambi. Apakah mereka memiliki kaitan dengan Suku Minangkabau karena sama-sama menganut sistem matrilineal? Mari kita simak penjelasannya di postingan berikut ini.


Sejarah dan Asal-Usul Suku Anak Dalam


Suku Anak Dalam merupakan salah satu suku yang mendiami pedalaman Sumatera, terutama di Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Sebutan "Suku Anak Dalam" dipopulerkan oleh Departemen Sosial pada tahun 1970 untuk membedakan mereka dari masyarakat luar yang disebut "orang terang". Pergantian nama ini bertujuan menghargai komunitas tersebut karena panggilan "kubu" dianggap merendahkan harga diri dan martabat mereka yang selalu dicap kumuh dan primitif.


Menurut data survei terakhir pada tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Jambi, Kabupaten Sarolangun memiliki jumlah penduduk Suku Anak Dalam terbanyak yang umumnya bermukim di wilayah Taman Nasional Bukit 12. Kemudian diikuti Kabupaten Merangin, Kabupaten Tebo, Kabupaten Bungo, Kabupaten Batanghari, dan terakhir dengan kepadatan terkecil di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.


Pola Hidup Suku Anak Dalam


Suku Anak Dalam menjalani hidup berpindah-pindah atau melangun dengan tiga alasan utama:


1. Pergantian musim.


2. Kehabisan bahan makanan dan persediaan hewan buruan yang menipis di wilayah bermukim.


3. Berpindah karena ada anggota keluarga atau kerabat yang meninggal dunia.


Teori Asal-Usul Suku Anak Dalam


Ada beberapa teori yang menjelaskan asal-usul Suku Anak Dalam yang tersebar di wilayah Provinsi Jambi:


1. Teori Wedoid: Menekankan pada kesamaan ciri-ciri fisik Suku Anak Dalam dengan suku Wedoid yang memiliki rambut keriting, kulit sawo matang, mata terletak agak menjorok ke dalam, badan kecil, dan kepala berbentuk sedang.


2. Teori Kerajaan Jambi: Kisah turun-temurun yang menceritakan tentara kerajaan Jambi melarikan diri ke pedalaman hutan Jambi agar tidak ditangkap oleh tentara Belanda.


3. Teori Bujang Perantau: Legenda masyarakat Suku Anak Dalam di kawasan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, menceritakan bahwa mereka berasal dari keturunan bujang perantau yang menikah dengan wanita jelmaan buah kelumpang.


4. Teori Kerajaan Pagaruyung: Beberapa variasi dari narasi ini menyebutkan bahwa Suku Anak Dalam berasal dari prajurit Pagaruyung, Sumatera Barat, yang tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Jambi karena kehabisan bekal. Mereka terpaksa bertahan di hutan Jambi dan menjadi pengembara.


Hubungan dengan Suku Minangkabau


Suku Anak Dalam memiliki kemiripan budaya dengan Minangkabau, terutama dalam hal penggunaan sistem matrilineal. Sistem ini mengikuti garis keturunan ibu, di mana peranan saudara atau pihak keluarga dari ibu sangat mempengaruhi dalam kehidupan sehari-hari, warisan, perkawinan, dan lain sebagainya.


Dalam masalah perkawinan, Suku Anak Dalam mengenal pucuk undang 8, yang terdiri dari empat hukum ke atas (membahas perkawinan) dan empat ke bawah (membahas masalah sosial). Hukum-hukum ini termasuk larangan kawin satu darah, kawin dengan ibu sendiri, kawin dengan saudara kandung, dan kawin dengan istri orang lain.


Bahasa dan Dialek


Suku Anak Dalam memiliki bahasa sendiri yang termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia Barat dan bagian dari bahasa-bahasa Hesperonesia yang menurunkan bahasa Melayu. Bahasa dan dialek mereka memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Palembang, bahasa penduduk Jambi, dan bahasa Minangkabau. Misalnya, kata "kulub" berarti anak laki-laki, "galak" berarti ganas, "sering" berarti selalu, dan "io" berarti ya.


Mengenal Lebih Dekat Suku Anak Dalam di Jambi


Sejarah Suku Anak Dalam memiliki dua versi. Selain menganut sistem matrilineal seperti suku Minangkabau, orang Rimbo juga mengenal Pucuk Undang Nan Delapan. Apa itu Pucuk Undang Nan Delapan? 


Sejarah dan Asal Usul Suku Anak Dalam


Hutan adalah rumah dan sumber penghidupan kami, demikian kesaksian Tumenggung Tarif, salah seorang tokoh dari Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi. Sejarah suku ini penuh dengan misteri dan belum ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Beberapa teori dan cerita dari mulut ke mulut menjadi pegangan untuk menguak sedikit tentang komunitas ini.


Menurut Tengganai Ngembar, seorang tetua adat yang tinggal di Sungai Makekal, terdapat dua versi cerita mengenai sejarah Suku Anak Dalam. Versi pertama menyatakan bahwa leluhur mereka adalah Malau Sesat yang meninggalkan keluarganya dan lari ke hutan. Versi kedua menyebutkan bahwa mereka adalah keturunan masyarakat Pagaruyung Sumatera Barat yang bermigrasi untuk mencari penghidupan yang lebih baik.


Sistem Matrilineal dan Hukum Adat


Suku Anak Dalam menganut sistem matrilineal, sama seperti budaya Minang. Mereka juga mengenal Pucuk Undang Nan Delapan yang terdiri dari empat hukum utama:


1. Mencara Telur: Tidak boleh menikah dengan anak sendiri.

2. Menikam Bumi: Tidak boleh menikah dengan ibu sendiri.

3. Melebung Dalam: Tidak boleh menikah dengan saudara kandung.

4. Mandi Pancuran Gading: Tidak boleh menikah dengan istri orang lain.

Pelanggaran atas hukum-hukum ini dihukum mati. Selain itu, terdapat empat hukum tambahan yang mengatur berbagai aspek kehidupan mereka.


Kehidupan di Hutan dan Tradisi Melangun


Orang Rimbo tinggal di pondok-pondok yang disebut sesudungon, terbuat dari kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun. Populasi mereka diperkirakan sebanyak 2.650 jiwa, tersebar di kawasan Taman Nasional Bukit 12 (TNBD) dan desa-desa sekitar.


Tradisi melangun, yaitu berpindah tempat setelah anggota keluarga meninggal dunia, masih dipraktikkan. Dahulu, tradisi ini bisa berlangsung hingga 12 tahun, namun kini hanya sekitar 4 bulan hingga 1 tahun karena keterbatasan lahan hutan.


Kepercayaan dan Upacara Adat


Suku Anak Dalam percaya kepada bahelo (dewa) dan roh-roh sebagai kekuatan gaib. Mereka menjalankan berbagai upacara adat seperti besale, yang bertujuan untuk memohon kesehatan dan ketentraman, serta menolak bala. Upacara ini dilengkapi dengan sesajian, bunyi-bunyian, dan tarian, yang tidak boleh dilihat oleh orang luar.


Seloko adat menjadi pedoman hidup mereka, mengatur tutur kata, tingkah laku, dan keputusan penting yang diambil oleh para pemimpin seperti Tumenggung.


Larangan Bagi Orang Luar di Wilayah Suku Anak Dalam


Kita akan membahas 10 larangan atau pantangan bagi orang luar yang memasuki wilayah atau kampung Suku Anak Dalam. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak video berikut ini. 


Kepercayaan dan Adat Istiadat Orang Rimba


Sebagian besar orang Rimba yang masih tinggal di dalam hutan di Jambi sangat kuat menjalankan adat warisan leluhur mereka. Orang Rimba memiliki kepercayaan bedewoanisme dan dinamisme yang selaras dengan hutan tempat mereka hidup. Dengan tetap menjalankan adat, kehidupan orang Rimba senantiasa harmonis dengan alam dan tidak membuat dewa marah.


Larangan dan Pantangan


Ada larangan yang berlaku dalam tradisi orang Rimba yang jika dilanggar oleh orang luar, maka denda adat bisa dijatuhkan. Berikut adalah 10 larangan yang harus diikuti oleh orang luar yang hendak memasuki wilayah mereka:


1 Dilarang Menebang Pohon Setumbung dan Sialang

Pohon setumbung adalah penanda kelahiran anak orang Rimba dan bernilai sakral. Orang Rimba yang menebang pohon ini akan didenda 250 hingga 500 bidang kain. Pohon sialang, tempat bersarangnya lebah madu, juga tidak boleh ditebang.


2 Dilarang Membawa Penyakit

Orang luar yang hendak mengunjungi orang Rimba harus bebas dari penyakit menular. Selama pandemi, tradisi besesandingon dijalankan, di mana orang sakit dipisahkan dari orang sehat dan orang luar harus dikarantina terlebih dahulu.


3 Dilarang Memasuki Rumah Tanpa Izin

Orang luar tidak boleh memasuki rumah orang Rimba tanpa izin. Jika ingin berkunjung, harus berteriak dari jauh hingga ada suara lelaki yang memberi izin.


4 Dilarang Memotret Perempuan

Dalam diri perempuan orang Rimba ada dewa yang harus dijaga. Memotret perempuan bisa membuat dewa pergi dan perempuan tersebut menjadi tidak terlindungi, sehingga bisa sakit atau meninggal dunia.


5 Dilarang Buang Air ke Sungai

Sungai adalah tempat yang sangat dihormati oleh orang Rimba. Selain untuk minum, mencuci, dan mandi, sungai juga dihormati sebagai penanda wilayah. Buang air harus dilakukan di darat, tidak boleh di sungai.


6 Dilarang Memotret atau Mendekati Kuburan

Jenazah orang Rimba tidak dikubur atau dibakar, melainkan diletakkan di atas pondok tinggi di hutan. Tempat ini disebut pusaron dan tidak boleh didatangi atau difoto oleh orang luar.


7 Dilarang Membunuh Burung Rangkong

Membunuh burung enggang atau rangkong akan membuat dewa marah. Dalam burung ini terdapat dewa yang harus dihormati.


8 Dilarang Hadir dalam Ritual Pengobatan

Ritual bebaleai dilakukan untuk mengobati orang Rimba yang sakit dengan memanggil para dewa. Orang luar tidak boleh hadir dalam ritual ini karena dewa tidak mau datang jika ada orang luar.


9 Dilarang Menyebut Nama Orang yang Telah Meninggal

Menyebut nama orang yang telah meninggal akan membuat roh leluhur terganggu dan membawa nasib buruk.


10 Dilarang Mengambil Buah dari Pohon Bertanda Khusus

Pohon yang memiliki tanda khusus tidak boleh diambil buahnya. Jika tanda ini diabaikan, pelanggar bisa dikenakan denda ganti rugi.


 #sukuanakdalam #jambi 

Tidak ada komentar: